Rabu, 25 April 2012

Islam benci Korupsi


Allah SWT menggariskan surga hanya dimiliki oleh para nabi, syuhada, orang yang jujur, dan mereka yang mau beramal sholih. Jujur dalam birokrasi artinya mengharamkan korupsi, begitulah Islam mengajarkan. 
Pemimpin yang mampu melaksanakan kejujuran, amanah, dan bekerja keras lagi berhemat mampu menciptakan sistem yang bagus. Hanya saja sistem yang bagus itu tak akan berjalan bila rakyat dan pemimpin tak berhasil mewujudkan kerukunan, kekompakan, dan kerjasama yang baik.

Para khalifah melaksanakan tuntunan Allah SWT dan Nabi Muhamad, yang mereka praktekkan dalam bentuk aturan yang jelas mengenai penggajian, larangan suap menyuap, kewajiban menghitung dan melaporkan kekayaan, kewajiban pemimpin untuk menjadi teladan, sistem hukum yang sempurna.


Penggajian yang Layak
Menggaji pegawai pemerintah dengan layak, merupakan salah satu hal yang paling awal yang dilakukan Umar bin Khattab. Untuk menjaga dan menjamin profesionalitas aparat negara. Khalifah Umar bin Khattab misalnya, melarang para pejabat berdagang agar mereka bisa konsentrasi penuh kepada pekerjaannya. Seorang guru anak-anak, diberi gaji 15 dinar (63,75 gram emas) tiap bulannya oleh Umar. Artinya, misal harga emas Rp. 75.000/gram, sang guru bisa mendapat gaji Rp. 4.781.250 perbulan pada masa sekarang ini. Padahal gaji guru anak-anak (TK-SD) di negeri kita saat ini berkisar antara tiga ratus ribu sampai satu juta. Jauh dari pendapatan gaji guru di masa Umar bin Khattab.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiMAFPmGnWEb8rc_oT3VsSYMj9mNLfYV_Kop0ViOMviXC9mr_T2a-5tSAhTkL36xi0Fz9he-1r5tkd6SA7A1rHkhfKZaQArapun1s529a_0i8q4vgA8NNQhuP_vEbwwVkxTM7sJY7XPqGwZ/s1600/KORUPSI2.jpg
Sistem Islam juga melarang aparat negara menerima suap dan hadiah/hibah. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap, berapun nilainya dan dengan jalan apapun diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. Allah SWT SWT berfirman:
Dan janganlah ada sebagian kalian makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (hal itu).” (QS. Al Baqarah [2]; 188)
Rasulullah SAW juga melarang praktek suap ini.
Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.(HR. Ahmad)
Adakalanya suap diberikan dengan maksud agar pejabat yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Suap jenis inipun amat dihindari oleh para Sahabat nabi SAW. Rasulullah SAW pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke daerah Khaibar (daerah Yahudi yang baru ditaklukkan kaum muslimin) untuk menaksir hasil panen kebun kurma daerah itu.
Sesuai dengan perjanjian, hasil panen akan dibagi dua dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Tatkala Abdullah bin Rawahah tengah bertugas, datang orang-orang Yahudi kepadanya dengan membawa perhiasan yang mereka kumpulkan dari istri-istri mereka, seraya berkata; “perhiasan itu untuk anda, tetapi ringankanlah kami dan berikan kepada kami bagian lebih dari separuh”. Abdullah bin Rawahah menjawab ; “Hai kaum Yahudi, demi Allah SWT, kalian memang manusia-manusia hamba Allah SWT yang paling kubenci. Apa yang kalian lakukan ini justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang kalian tawarkan itu adalah barang haram dan kaum muslimin tidak memakannya!”
Mendengar jawaban itu mereka serentak menyahut ; “karena itulah langit dan bumi tetap tegak”
Hadiah atau hibah adalah harta yang diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagi pemberian. Perbedaannya dengan suap, bahwa hadiah itu diberikan bukan sebagai imbalan atas suatu kepentingan, karena si pemberi hadiah telah terpenuhi keinginannya, baik secara langsung maupun melalui perantara. Hadiah atau hibah diberikan atas dasar pamrih tertentu, agar pada suatu ketika ia dapat memperoleh kepentingannya dari penerima hadiah/hibah. Hadiah semacam ini diharamkan dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda:
Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Amma ba’du, aku telah mempekerjakan beberapa orang di antara kalian untuk melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah SWT kepadaku. Kemudian salah seorang dari mereka itu datang dan berkata; “ini kuserahkan kepada Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku.” Jika apa yang dikatakannya itu benar, apakah tidak lebih baik kalau ia duduk saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya? Demi Allah SWT, siapapun di antara kalian yang mengambil sesuatu dari zakat itu tanpa haq, maka pada hari kiamat kelak akan menghadap Allah SWT sambil membawa apa yang diambilnya itu.”
Penghitungan Kekayaan
Untuk menjaga dari perbuatan curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu kepada baitul maal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk baitul maal dan sisa separonya diserahkan kepada yang bersangkutan.
http://osolihin.files.wordpress.com/2009/11/baju_koruptor.jpg
Dalam prakteknya, Khalifah Umar mengutus Muhammad bin Maslamah untuk membagi dua kekayaan Abu Hurairah penguasa Bahrain,  Amr bin Ash penguasa di Mesir, Saad bin Abi Waqqash penguasa di Kufah. Jadi, Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya penghitungan kekayaan tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem mendukung, apalagi bila masyarakat turut berperan mengawasi perilaku birokrat. (LC, Disarikan dari Muhammad Julianto/Islam, Demokrasi dan Good Governance)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar