Allah SWT menggariskan surga hanya
dimiliki oleh para nabi, syuhada, orang yang jujur, dan mereka yang mau
beramal sholih. Jujur dalam birokrasi artinya mengharamkan korupsi,
begitulah Islam mengajarkan.
Pemimpin yang mampu melaksanakan
kejujuran, amanah, dan bekerja keras lagi berhemat mampu menciptakan
sistem yang bagus. Hanya saja sistem yang bagus itu tak akan berjalan
bila rakyat dan pemimpin tak berhasil mewujudkan kerukunan, kekompakan,
dan kerjasama yang baik.
Para khalifah melaksanakan tuntunan
Allah SWT dan Nabi Muhamad, yang mereka praktekkan dalam bentuk aturan
yang jelas mengenai penggajian, larangan suap menyuap, kewajiban
menghitung dan melaporkan kekayaan, kewajiban pemimpin untuk menjadi
teladan, sistem hukum yang sempurna.
Penggajian yang Layak
Menggaji pegawai pemerintah dengan
layak, merupakan salah satu hal yang paling awal yang dilakukan Umar
bin Khattab. Untuk menjaga dan menjamin profesionalitas aparat negara.
Khalifah Umar bin Khattab misalnya, melarang para pejabat berdagang
agar mereka bisa konsentrasi penuh kepada pekerjaannya. Seorang guru
anak-anak, diberi gaji 15 dinar (63,75 gram emas) tiap bulannya oleh
Umar. Artinya, misal harga emas Rp. 75.000/gram, sang guru bisa
mendapat gaji Rp. 4.781.250 perbulan pada masa sekarang ini. Padahal
gaji guru anak-anak (TK-SD) di negeri kita saat ini berkisar antara
tiga ratus ribu sampai satu juta. Jauh dari pendapatan gaji guru di
masa Umar bin Khattab.
Sistem Islam juga melarang aparat negara
menerima suap dan hadiah/hibah. Suap adalah harta yang diberikan
kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat pemerintah lainnya dengan
maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang
semestinya wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk
apapun. Setiap bentuk suap, berapun nilainya dan dengan jalan apapun
diberikannya atau menerimanya, haram hukumnya. Allah SWT SWT berfirman:
“Dan janganlah ada sebagian kalian
makan harta benda sebagian yang lain dengan jalan batil, dan janganlah
menggunakannya sebagai umpan (untuk menyuap) para hakim dengan maksud
agar kalian dapat makan harta orang lain dengan jalan dosa, padahal
kalian mengetahui (hal itu).” (QS. Al Baqarah [2]; 188)
Rasulullah SAW juga melarang praktek suap ini.
“Rasulullah SAW melaknat penyuap, penerima suap dan orang yang menyaksikan penyuapan.” (HR. Ahmad)
Adakalanya suap diberikan dengan maksud
agar pejabat yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban sebagaimana
mestinya. Suap jenis inipun amat dihindari oleh para Sahabat nabi SAW.
Rasulullah SAW pernah mengutus Abdullah bin Rawahah ke daerah Khaibar
(daerah Yahudi yang baru ditaklukkan kaum muslimin) untuk menaksir
hasil panen kebun kurma daerah itu.
Sesuai dengan perjanjian, hasil panen
akan dibagi dua dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Tatkala Abdullah bin
Rawahah tengah bertugas, datang orang-orang Yahudi kepadanya dengan
membawa perhiasan yang mereka kumpulkan dari istri-istri mereka, seraya
berkata; “perhiasan itu untuk anda, tetapi ringankanlah kami dan
berikan kepada kami bagian lebih dari separuh”. Abdullah bin Rawahah
menjawab ; “Hai kaum Yahudi, demi Allah SWT, kalian memang
manusia-manusia hamba Allah SWT yang paling kubenci. Apa yang kalian
lakukan ini justru mendorong diriku lebih merendahkan kalian. Suap yang
kalian tawarkan itu adalah barang haram dan kaum muslimin tidak
memakannya!”
Mendengar jawaban itu mereka serentak menyahut ; “karena itulah langit dan bumi tetap tegak”
Hadiah atau hibah adalah harta yang
diberikan kepada penguasa atau aparatnya sebagi pemberian. Perbedaannya
dengan suap, bahwa hadiah itu diberikan bukan sebagai imbalan atas
suatu kepentingan, karena si pemberi hadiah telah terpenuhi
keinginannya, baik secara langsung maupun melalui perantara. Hadiah
atau hibah diberikan atas dasar pamrih tertentu, agar pada suatu ketika
ia dapat memperoleh kepentingannya dari penerima hadiah/hibah. Hadiah
semacam ini diharamkan dalam sistem Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR. Imam Ahmad).
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Amma
ba’du, aku telah mempekerjakan beberapa orang di antara kalian untuk
melaksanakan tugas yang dipercayakan Allah SWT kepadaku. Kemudian salah
seorang dari mereka itu datang dan berkata; “ini kuserahkan kepada
Anda, sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepadaku.” Jika
apa yang dikatakannya itu benar, apakah tidak lebih baik kalau ia duduk
saja di rumah ayah atau ibunya sampai hadiah itu datang kepadanya?
Demi Allah SWT, siapapun di antara kalian yang mengambil sesuatu dari
zakat itu tanpa haq, maka pada hari kiamat kelak akan menghadap Allah
SWT sambil membawa apa yang diambilnya itu.”
Penghitungan Kekayaan
Untuk menjaga dari perbuatan curang,
Khalifah Umar menghitung kekayaan seseorang di awal jabatannya sebagai
pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan. Bila
terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan
kelebihan itu kepada baitul maal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk baitul maal dan sisa separonya diserahkan kepada yang bersangkutan.
Dalam prakteknya, Khalifah Umar mengutus
Muhammad bin Maslamah untuk membagi dua kekayaan Abu Hurairah penguasa
Bahrain, Amr bin Ash penguasa di Mesir, Saad bin Abi Waqqash penguasa
di Kufah. Jadi, Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar
sebab-sebab yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya
penghitungan kekayaan tidaklah sulit dilakukan bila semua sistem
mendukung, apalagi bila masyarakat turut berperan mengawasi perilaku
birokrat. (LC, Disarikan dari Muhammad Julianto/Islam, Demokrasi dan Good Governance)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar